logo pengadilan negeri purwakarta website ramah difable

Pedoman penanganan Perempuan Berhadapan dengan Hukum

07Nov

Ditulis oleh adminpn

Pedoman penanganan Perempuan Berhadapan dengan Hukum

(PERMA Nomor 3 Tahun 2017)

Oleh : Ricco Imam VImayzar, S.H., M.H.,

Hakim Pengadilan Negeri Purwakarta

 

Dalam menangani dan mengadili Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. PERMA ini menjadi pedoman bagi hakim dalam  penanganan dan mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam PERMA ini diatur apa yang menjadi asas dan tujuan, pemeriksaan perkara dipersidangan sampai dengan Pemeriksaan Uji Materiil di Mahkamah Agung. Di dalam  BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 PERMA ini menguraikan mengenai istilah dan penjelasan istilah yang dimaksud, termasuk salah satunya apa yang dimaksud dengan Perempuan berhadapan dengan hukum yang dalam PERMA ini adalah Perempuan yang berkonflik dengan hukum, Perempuan sebagai korban, Perempuan sebagai saksi atau Perempuan sebagai pihak. Ada juga Pengertian Jenis kelamin adalah status fisik, fisiologis dan biologis yang dicirikan sebagai laki-laki dan Perempuan. Dan masih banyak lagi istilah yang digunakan dalam ketentuan umum PERMA tersebut.

 

Pasal 2 Perma tersebut memberikan pedoman kepada Hakim dalam mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang harus berdasarkan asas:

  1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
  2. Non diskriminasi;
  3. Kesetraan Gender;
  4. Persamaan di depan hukum;
  5. Keadilan;
  6. Kemanfaatan; dan
  7. Kepastian hukum.

 

Pedoman mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hulum bertujuan agar hakim (Pasal 3):

  1. Memahami dan menerapkan asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2;
  2. Mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan Diskriminasi Terhadap Peempuan; dan
  3. Menjamin hak Perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.

 

Dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan (Pasal 4):

  1. Ketidaksetaraan status social antara para pihak yang berperkara;
  2. Ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan;
  3. Diskriminasi;
  4. Dampak psikis yang dialami korban;
  5. Ketidakberdayaan fisik dan psikis korban;
  6. Relasi Kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan
  7. Riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.

 

Dalam pemeriksaan Perempuan Berhadapan dengan Hukum, hakim tidak boleh (Pasal 5):

  1. Menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum;
  2. Membenarkan terjadinya Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunaka penafsiran ahli yang bias Gender;
  3. Mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan
  4. Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung Stereotip Gender.

 

Hakim dalam mengadii perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Pasal 6):

  1. Mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan Stereotif Gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis;
  2. Melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin Kesetaraan Gender;
  3. Menggali nilai-nilai hukum, kearifan local dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat guna menjamin Kesetaraan Gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan
  4. Mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait Kesetaraan Gender yang telah diratifikasi.

Selama jalannya pemeriksaan persidangan, hakim agar mencegah dan/atau menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas Perempuan Berhadapan dengan Hukum (pasal 7).

 

Dalam penanganan Perempuan Berhadapan dengan Hukum pasal 8 Perma mengatur:

  1. Hakim agar menanyakan kepada Perempuan sebagai korban tentang kerugian, dampak kasus dan kebutuhan untuk pemulihan;
  2. Hakim agar memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk melakukan penggabungan perkara sesuai dengan Pasal 98 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan/atau gugatan biasa atau permohonan restitusi sebagaimana diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. Dalam hal pemulihan korban atau pihak yang dirugikan, hakim agar;
  4. Konsisten dengan prinsip dan standar hak asasi manusia;
  5. Bebas dari pandangan Stereotip Gender; dan
  6. Mempertimbangkan situasi dan kepentingan korban dan kerugian yang tidak proposional akibat ketidaksetaraan Gender.

 

Apabila Perempuan Berhadapan dengan Hukum mengalami hambatan fisik dan psikis sehingga membutuhkan pendampingan maka (Pasal 9):

  1. Hakim dapat menyarankan kepada Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk menghadirkan Pendampin; dan
  2. Hakim dapat mengabulkan permintaan Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk menghadirkan Pendamping.

 

Hakim atas inisiatif sendiri dan/atau permohonan para pihak, penuntut umum, penasihat hukum dan/atau korban dapat emerintahkan Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk didengar keterangannya melalui pemeriksaan dengan komunikasi audio visual jarak jauh di pengadilan setempat atau di tempat lain, apabila (Pasal 10):

  1. Kondisi mental/jiwa Perempuan Berhadapan dengan Hukum tidak sehat diakibatkan oleh rasa takut/trauma psikis berdasarkan penilaian dokter atau psikolog;
  2. Berdasarkan penilaian hakim, keselamatan Perempuan Berhadapan dengan Hukum tidak terjamin apabila berada di tempat umum atau terbuka; atau
  3. Berdasarkan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Perempuan Berhadapan dengan Hukum dinyatakan berada dalam program perlindungan saksi dan/atau korban dan menurut penilaian LPSK tidak dapat hadir di persidangan untuk memberikan keterangan baik karena alasan keamanan maupun karena alasan hambatan fisik dan psikis.

 

Dalam hal Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan uji materiil yang terkait dengan Perempuan Berhadapan dengan hukum, agar memperhatikan (Pasal 11):

  1. Prinsip hak asasi manusia;
  2. Kepentingan terbaik dan pemulihan Perempuan Berhadapan dengan Hukum;
  3. Konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait Kesetaraan Gender yang telah diratifikasi;
  4. Relasi Kuasa serta setiap pandangan Stereotip Gender yang ada dalam peraturan perundang-undangan;
  5. Analisis Gender secara komprehensif.

 

Stereotif negative terhadap Perempuan yang ada di Masyarakat antara lain:

  1. Perempuan lemah secara fisik;
  2. Perempuan harus tunduk dan patuh pada suami;
  3. Perempuan yang baik itu suci secara seksual;
  4. Perempuan baik-baik tidak mungkin menjadi korban pelecehan;
  5. Perempuan adalah satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab terhadap anak;
  6. Sendirian pada malam hari atau memakai pakaian tertentu membuat perempuan ikut bertanggung jawab jika menjadi korban tindak pidana;
  7. Perempuan itu emosional dan sering bereaksi berlebihan dan mendramatisasi sehingga pernyataannya masih perlu dikuatkan;
  8. Perempuan sedikit banyak berkontribusi atas terjadinya pelecehan atau perkosaan dan ikut menikmati perkosaan;
  9. Perempuan yang keluar malam pastilah bukan perempuan yang baik-baik.

 

Dalam menangani perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, masih banyak hakim yang kurang memahami PERMA Nomor 3 Tahun 2017 atau mengalami kendala di persidangan yang mana hal tersebut timbul karena pemikiran sejak dahulu yang mengandung Stereotip Gender pada Perempuan. Dengan adanya PERMA ini diharapkan mengurangi hal-hal yang negatif  yang selama ini sering terjadi dalam penanganan perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.